SUARA WALAHAR MENGGEMA : STRATEGI KOMUNIKASI CSR PERTAMINA MEMBANGUN DESA MANDIRI. Membangun Kebersamaan Untuk Menciptakan Kesejahteraan Berkelanjutan
Cover depan Suara Walahar
E-book -

SUARA WALAHAR MENGGEMA : STRATEGI KOMUNIKASI CSR PERTAMINA MEMBANGUN DESA MANDIRI. Membangun Kebersamaan Untuk Menciptakan Kesejahteraan Berkelanjutan

0.0/5
| E-book
| 
Tersedia dalam format:
ISBN:
978-623-352-581-7
Kategori:
Tahun Terbit:
2025
Penerbit:
Bahasa:
Indonesia

Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia mengalami pergeseran besar dari sekadar aktivitas filantropi menuju paradigma baru yang lebih terukur, strategis, dan berdampak langsung pada pembangunan berkelanjutan. Jika pada dekade sebelumnya CSR kerap dipandang hanya sebagai “lampiran kosmetik” citra perusahaan, kini ia dipahami sebagai bagian integral dari tata kelola bisnis yang memengaruhi legitimasi, reputasi, dan keberlanjutan perusahaan di mata publik. Transformasi ini lahir dari akumulasi tuntutan sosial yang semakin kompleks, tekanan regulasi yang semakin ketat, serta meningkatnya kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan keadilan sosial. Regulasi seperti PROPER dan TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) BUMN menjadi katalis utama perubahan karena mendorong perusahaan untuk tidak hanya melaporkan aktivitas, tetapi juga menunjukkan capaian dampak yang nyata dan terukur. Dalam konteks ini, komunikasi CSR diposisikan bukan sekadar sarana pelaporan, melainkan instrumen strategis yang mampu menyatukan narasi, data, dan partisipasi publik. Tanpa komunikasi yang kredibel, program CSR berisiko dilihat hanya sebagai formalitas; sebaliknya, dengan komunikasi yang cerdas, CSR dapat menjadi energi transformasi sosial-ekologis yang mampu bertahan dalam jangka panjang dan diakui oleh semua pemangku kepentingan. Komunikasi dalam kerangka ini berfungsi sebagai jembatan kesalingpahaman. Program Ngabedahkeun Walahar menjadi contoh konkret bagaimana bingkai komunikasi yang kontekstual mampu memperkuat penerimaan masyarakat. Istilah “ngabedahkeun” yang berakar pada tradisi Sunda digunakan bukan sebagai jargon pemasaran, melainkan sebagai representasi nilai budaya yang sudah akrab dalam keseharian warga. Pendekatan ini membuat program CSR diterima bukan sebagai intervensi eksternal, melainkan sebagai bagian dari tradisi lokal yang dilanjutkan. Keaslian program semakin kuat melalui keterlibatan local heroes, testimoni penerima manfaat, serta dokumentasi otentik yang menampilkan proses nyata di lapangan. Bukti visual dan pengalaman langsung jauh lebih meyakinkan daripada klaim sepihak perusahaan. Inilah sebabnya dalam komunikasi modern, authenticity dipandang sebagai “mata uang sosial” yang menentukan derajat kepercayaan publik. CSR yang autentik bukan hanya menunjukkan hasil, tetapi mengundang publik untuk memahami perjalanan perubahan secara utuh.

Penulis
Beli buku ini?
Subtotal: